Selasa, 07 Juli 2009

Cerita dari cina

“AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU”
Diterjemahkan dari cerita Cina

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi
hari, orangtuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap
ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku…Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatan membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di
depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut
untuk berbicara.

Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi beliau mengatakan, “Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marah, sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan
nafas.

Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu
sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri
tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan
malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup
mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke
SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke
sebuah universitas propinsi.

Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus
demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan
hasil yang begitu baik. Hasil yang begitu baik.”

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, saya telah cukup membaca banyak
buku.”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau
mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti ayah mesti
mengemis di jalanan, ayah akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”
Kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak. Aku berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan
ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan
rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah
mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku, “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air
mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun.
Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas..

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, ” Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?

Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu? ”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu. ”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku pulang ke rumah setelah menghadiri undangan pernikahan
seorang teman, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan
membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” aku menanyakannya.

“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan…” Di tengah kalimat itu ia berhenti.

Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke
wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Seringkali suamiku dan aku
mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, dia mengatakan,
“Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Saat Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi
adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.

Suatu hari, ketika adikku sedang di atas sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ia mendapat sengatan listrik, lalu masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku
menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah
harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang,
luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan
kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata. Kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

Lalu ia berkata, “Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29..

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”

Tanpa berpikir, ia menjawab, “Kakak saya.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak
dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, sekolah kami ada di dusun yang
berbeda. Setiap hari kakak dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung
tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Sedangkan ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak
dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku,
orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

0 Comments:

Post a Comment